Pelatih Manchester United Pasca-Ferguson: Siapa Saja?

by Jhon Lennon 54 views

Guys, ngomongin soal Manchester United, pasti gak lepas dari nama legendaris Sir Alex Ferguson, kan? Setelah beliau pensun, MU kayak kehilangan kompasnya gitu deh. Banyak banget nih pelatih silih berganti mencoba ngasih angin segar, tapi hasilnya… ya gitu deh, naik turun kayak rollercoaster.

Nah, buat kalian para penggila bola, terutama MU, pasti penasaran banget kan siapa aja sih pelatih yang pernah megang tim Setan Merah ini setelah era Fergie? Gimana kiprah mereka? Terus, kenapa sih kayaknya sulit banget nemuin pengganti sepadan buat Fergie? Yuk, kita bedah satu-satu!

David Moyes: Harapan yang Kandas

Siapa yang gak kaget pas David Moyes dipilih Sir Alex Ferguson sendiri sebagai suksesornya? Gokil, kan? Moyes, yang saat itu lagi moncer bareng Everton, kayaknya punya track record yang lumayan bagus. Ekspektasi publik sih tinggi banget, berharap Moyes bisa meneruskan dinasti MU.

Sayangnya, guys, cerita Moyes di Old Trafford gak sepanjang yang dibayangkan. Cuma bertahan 10 bulan, doi dipecat. Ada banyak faktor sih, mulai dari gaya kepelatihan yang dinilai kurang cocok, gak bisa ngatasin tekanan klub sebesar MU, sampai masalah rekrutmen pemain. Waduh, padahal udah dikasih warisan pemain-pemain top lho sama Fergie. Tapi ya sudahlah, namanya juga sepak bola, kadang gak sesuai rencana.

Yang paling berkesan dari era Moyes? Mungkin pas MU kalah telak 0-3 dari rival abadinya, Liverpool, di kandang sendiri. Rasanya gimana gitu, lihat MU yang biasanya garang jadi kelihatan loyo. Terus, MU juga gagal lolos ke Liga Champions di musim itu, sebuah achievement yang jarang banget terjadi di era Fergie. Jadi, overall, era Moyes ini bisa dibilang sebagai babak pembuka yang kurang manis buat MU pasca-Ferguson. Banyak yang bilang, doi terlalu underpressure dan gak siap ngadepin ekspektasi sebesar itu. Mungkin doi butuh waktu lebih lama buat beradaptasi, tapi sayangnya MU gak punya kesabaran itu. Keputusan pemecatan Moyes ini sendiri jadi topik panas dan banyak pro-kontra di kalangan fans dan media. Ada yang merasa doi dikasih kesempatan yang terlalu singkat, ada juga yang merasa memang doi gak punya kapasitas untuk memimpin klub sebesar MU. Yang jelas, ini jadi pelajaran berharga buat MU dalam memilih pelatih selanjutnya.

Louis van Gaal: Misi Membangun Kembali

Setelah era Moyes yang singkat, MU beralih ke pelatih senior nan eksentrik asal Belanda, Louis van Gaal. Pria yang akrab disapa LVG ini punya reputasi mentereng di Eropa, pernah juara di Ajax, Barcelona, Bayern Munich, bahkan membawa timnas Belanda jadi juara 3 Piala Dunia 2014. Wah, modalnya kayaknya udah gak diragukan lagi.

LVG datang dengan misi membangun kembali MU yang lagi terpuruk. Gaya bermainnya yang khas, possession-based football, coba diterapkan. Di musim pertamanya, doi berhasil ngasih trofi Piala FA, yang mana itu trofi pertama MU setelah era Fergie. Lumayan lah, ada sedikit pencerahan.

Tapi, guys, musim kedua LVG kayaknya gak seberuntung musim pertama. Gaya mainnya yang dianggap membosankan, gak efektif, dan kurang greget bikin banyak fans frustrasi. Terus, MU juga gagal bersaing di papan atas Liga Inggris dan harus puas di luar zona Liga Champions lagi. Akhirnya, setelah drama panjang, LVG pun harus angkat koper.

Kontroversi di era LVG lumayan banyak. Mulai dari cara dia ngomong di konferensi pers yang seringkali bikin kaget, sampai keputusan-keputusannya yang kadang gak bisa diprediksi. Well, dia punya filosofi yang kuat, tapi mungkin gak semua pemain bisa ngikutin. Ada juga yang bilang, doi terlalu rigid dan gak fleksibel dalam menerapkan strateginya. Yang jelas, era LVG ini meninggalkan bekas yang cukup kompleks. Di satu sisi, ada trofi Piala FA yang jadi penyelamat muka. Di sisi lain, gaya bermain yang monoton dan kegagalan di liga jadi catatan merah yang cukup tebal. Banyak juga momen-momen lucu dan unik yang lahir dari interaksi LVG dengan media dan pemainnya. Tapi, di balik kelucuan itu, ada tekanan besar yang harus dia hadapi. Pergantian pemain yang kadang gak masuk akal dan seringnya MU bermain bertahan membuat banyak fans merindukan gaya menyerang yang dulu mereka kenal. Namun, kita juga harus apresiasi usahanya dalam membangun ulang tim setelah era Moyes yang kelam. Dia berhasil mendatangkan beberapa pemain kunci yang nantinya jadi tulang punggung tim di era berikutnya, meskipun mungkin gak semua adaptasinya mulus. LVG adalah sosok yang punya prinsip kuat dan gak takut mengambil risiko, tapi kadang risiko itu gak selalu berbuah manis. Keputusannya untuk mempromosikan beberapa pemain muda juga patut diapresiasi, meskipun gak semuanya jadi bintang besar.

Jose Mourinho: Asa Juara yang Berakhir Tragis

Nah, ini dia nih, pelatih yang paling banyak dibicarakan, Jose Mourinho! Pelatih asal Portugal ini datang dengan aura juara yang kental. Siapa sih yang gak kenal The Special One? Langsung aja di musim pertamanya, doi ngasih tiga trofi sekaligus: Community Shield, Piala Liga, dan Liga Europa. Wuih, kayaknya MU bakal bangkit nih!

Fans MU sempat optimistis banget. Akhirnya, MU punya pelatih yang berani ngomong terus terang dan punya mental juara. Tapi, guys, seiring berjalannya waktu, ada aja masalah. Gaya bermain MU di bawah Mourinho sering dikritik karena dianggap terlalu defensif dan kurang menarik. Hubungannya sama beberapa pemain kunci juga dilaporkan memburuk.

Di musim ketiganya, performa MU mulai menurun drastis. Hasil yang gak konsisten bikin Mourinho akhirnya dipecat di pertengahan musim. Tragis banget ya, padahal awalnya menjanjikan.

Periode Mourinho ini bisa dibilang penuh drama dan kontroversi. Di awal memang menjanjikan dengan raihan trofi, tapi seiring waktu, masalah mulai muncul ke permukaan. Perseteruannya dengan Paul Pogba jadi salah satu berita paling panas. Gaya sepak bola Mourinho yang cenderung pragmatis dan fokus pada pertahanan seringkali bentrok dengan ekspektasi fans MU yang mendambakan permainan menyerang atraktif. Namun, gak bisa dipungkiri, Mourinho punya kemampuan untuk memenangkan trofi. Tiga gelar yang dia raih di musim pertamanya adalah bukti nyata. Dia berhasil membawa MU kembali ke Liga Champions melalui jalur Liga Europa. Tapi, di balik kesuksesan itu, ada ketegangan yang terasa di ruang ganti dan di pinggir lapangan. Mourinho dikenal sebagai pelatih yang sangat detail dan punya tuntutan tinggi terhadap pemainnya. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, ia seringkali tidak ragu untuk mengkritik pemainnya di depan publik, yang tentu saja bisa merusak moral tim. Kegagalan MU bersaing memperebutkan gelar Liga Primer di musim-musim berikutnya juga jadi pukulan telak baginya. Tekanan untuk bisa mengembalikan MU ke puncak semakin besar, dan ketika itu tidak tercapai, pemecatannya seolah sudah tak terhindarkan. Era Mourinho ini ibarat pedang bermata dua; ada pencapaian, tapi juga ada perpecahan. Dia adalah tipe pelatih yang bisa membawa timnya meraih kesuksesan dalam jangka pendek, namun seringkali kesulitan untuk membangun fondasi jangka panjang yang kokoh. Keputusannya untuk mendatangkan pemain-pemain dengan gaya bermain yang cocok dengan filosofinya juga jadi sorotan, meskipun tidak semua transfernya berjalan mulus. Ada beberapa pemain yang justru terlihat kesulitan berkembang di bawah asuhannya. Ujian terberat Mourinho adalah ketika ia harus bersaing dengan tim-tim lain yang juga memiliki pelatih-pelatih kelas dunia dan skuad yang kuat. Di era ini, MU seringkali terlihat kesulitan menemukan identitas permainan yang jelas di bawah asuhan Mourinho, dan hal ini menjadi salah satu penyebab utama performa yang tidak konsisten.

Ole Gunnar Solskjaer: Cinta Lama Bersemi Kembali?

Setelah era Mourinho yang penuh gejolak, MU memutuskan untuk kembali ke akar dengan menunjuk Ole Gunnar Solskjaer, mantan striker legendaris mereka, sebagai pelatih interim. Awalnya sih cuma buat judi, tapi doi ngasih hasil yang luar biasa! MU yang tadinya terseok-seok, tiba-tiba bangkit dan main cantik.

Berkat performa impresifnya, Solskjaer akhirnya diangkat jadi pelatih permanen. Di awal-awal, MU di bawah Ole kayak lagi kasmaran. Mainnya happy football, banyak gol, dan anak-anak muda kayak Marcus Rashford dan Mason Greenwood makin bersinar. Sempat juga nih MU bersaing di papan atas, bahkan beberapa kali nyaris juara liga dan cup.

Tapi sayang, guys, konsistensi jadi masalah utama. Di musim-musim terakhirnya, MU kayak kehilangan taji. Kekalahan memalukan dari rival-rivalnya bikin Ole akhirnya harus rela diganti.

Kisah Solskjaer ini bisa dibilang penuh dengan harapan dan kekecewaan. Ole datang sebagai idola fans, membawa semangat dan optimisme yang sudah lama hilang. Di awal kepelatihannya, ia berhasil membangkitkan performa tim secara signifikan, membuat para pemain bermain dengan lebih bebas dan penuh semangat. Ia juga dikenal sebagai pelatih yang baik dalam membangun hubungan positif dengan para pemainnya, menciptakan atmosfer kekeluargaan di ruang ganti. Keberhasilannya membawa MU finis di zona Liga Champions di musim-musim awalnya disambut dengan antusiasme tinggi. Namun, seiring berjalannya waktu, kelemahan dalam taktik dan kedalaman skuad mulai terlihat jelas. MU seringkali kesulitan menghadapi tim-tim kuat dengan strategi yang matang, dan permainannya menjadi mudah ditebak. Kekecewaan memuncak ketika MU mengalami beberapa kekalahan telak di kandang sendiri, termasuk dari tim-tim yang dianggap rival abadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuannya dalam merespons situasi pertandingan yang sulit dan melakukan penyesuaian taktik. Meskipun Ole memiliki niat baik dan cinta yang besar terhadap klub, namun pada akhirnya, tuntutan untuk meraih gelar juara dan bersaing di level tertinggi menjadi ujian yang terlalu berat baginya. Pergantian pemain yang kurang efektif dan kegagalan dalam merekrut pemain yang tepat juga menjadi faktor yang berkontribusi pada performa yang stagnan. Era Solskjaer bisa dibilang sebagai sebuah eksperimen yang dimulai dengan indah, namun berakhir dengan kesadaran bahwa membangun tim juara membutuhkan lebih dari sekadar semangat dan kecintaan pada klub. Dia memberikan momen-momen indah dan kenangan tak terlupakan bagi fans, tetapi sayangnya, itu tidak cukup untuk mengembalikan MU ke tahta kejayaan.

Ralf Rangnick: Sang Profesor Interim

Setelah memecat Solskjaer, MU menunjuk Ralf Rangnick sebagai pelatih interim. Rangnick ini bukan sembarang pelatih, guys. Dia ini dikenal sebagai **