50 Majas Beserta Artinya

by Jhon Lennon 25 views

Hey guys, jadi kali ini kita bakal ngobrolin soal majas, nih. Buat kalian yang lagi belajar sastra atau sekadar pengen nambah wawasan, pasti udah nggak asing lagi sama yang namanya majas. Majas itu, gampangnya, adalah gaya bahasa yang dipakai penulis buat nyampein pesannya secara kiasan, biar makin hidup dan berkesan. Kenapa sih kita perlu tahu soal majas? Soalnya, dengan majas, tulisan kita jadi nggak datar-datar aja, tapi lebih kaya, lebih emosional, dan bisa bikin pembaca ngerasain apa yang kita tulis. Ibarat masakan, majas itu bumbunya, bikin rasa tulisan jadi makin nendang! Dalam artikel ini, kita bakal bedah tuntas 50 jenis majas yang sering banget muncul dalam karya sastra, lirik lagu, bahkan percakapan sehari-hari, lengkap sama artinya. Jadi, siap-siap ya, kita bakal menyelami dunia kiasan yang penuh warna dan makna.

Apa Itu Majas dan Kenapa Penting?

Jadi gini, guys, majas itu adalah cara kita bermain kata-kata biar ungkapan jadi lebih indah dan punya makna mendalam. Bukan cuma sekadar ngomong biasa, tapi ada sentuhan seni di dalamnya. Kapan sih kita pake majas? Banyak banget kesempatannya! Misalnya pas nulis puisi, cerpen, novel, lirik lagu, atau bahkan pas lagi ngobrol santai tapi pengen bikin lawan bicara terkesan. Kenapa majas itu penting banget? Pertama, dia bikin tulisan kita jadi nggak ngebosenin. Bayangin aja kalau semua tulisan itu lurus-lurus aja, nggak ada gaya, pasti cepet bikin ngantuk, kan? Nah, majas ini ibarat warna-warni yang bikin tulisan kita jadi menarik dan berwarna. Kedua, majas itu bisa bikin emosi pembaca lebih tersentuh. Lewat perumpamaan atau perbandingan yang cerdas, kita bisa bikin pembaca ikut merasakan sedih, senang, marah, atau kagum. Contohnya, kalau kita bilang "hatinya sekeras batu", kan langsung kebayang betapa keras kepalanya atau nggak punya perasaan, ya? Itu kan lebih ngena daripada bilang "dia keras kepala". Ketiga, majas juga bisa bikin makna jadi lebih kuat dan mudah diingat. Kadang, ungkapan kiasan itu lebih gampang nempel di kepala daripada penjelasan lurus-lurus. Terakhir, majas itu jadi salah satu ciri khas gaya penulisan seseorang. Setiap penulis punya cara unik dalam memakai majas, makanya kita bisa mengenali gaya mereka dari pilihan kata dan majas yang digunakan. Jadi, nguasain majas itu bukan cuma soal menghafal definisi, tapi soal ngerti gimana cara bikin tulisan kita jadi lebih hidup, lebih berkesan, dan pastinya lebih keren di mata pembaca. Yuk, kita lanjut kenalan sama macam-macam majas yang bakal bikin kosakata kalian makin kaya!

Majas Perbandingan (Simile, Metafora, Personifikasi, Alegori, Metonimia, Sinekdoke, Hiperbola, Litotes, Antonomasia, Asosiasi)

Oke, guys, sekarang kita masuk ke bagian yang paling seru: majas perbandingan. Sesuai namanya, majas ini memang membandingkan dua hal yang berbeda tapi punya kemiripan. Tujuannya apa? Biar lebih jelas, lebih dramatis, atau sekadar biar lebih asyik dibaca. Ini dia beberapa majas perbandingan yang sering banget kita temuin:

  1. Simile: Ini yang paling gampang dikenali, guys. Simile itu perbandingan terang-terangan yang biasanya pake kata kayak, bagai, bak, seumpama, ibarat, dll. Contohnya: "Senyumnya semanis madu." Di sini, senyum dibandingkan sama madu pake kata 'semanis'. Jadi, jelas banget kalau senyumnya itu manis. Atau, "Wajahnya pucat bagai kapas." Jelas kan, pucatnya kayak kapas. Simile ini bener-bener membantu kita ngasih gambaran yang lebih nyata ke pembaca. Kita bisa langsung ngebayangin betapa manisnya senyum atau betapa pucatnya wajah itu.
  2. Metafora: Nah, kalau simile itu perbandingannya terang-terangan, metafora ini agak lebih halus. Dia membandingkan dua hal tapi tanpa pake kata penghubung kayak atau bagai. Ibaratnya, dia bilang 'A adalah B', padahal maksudnya A punya sifat kayak B. Contohnya: "Dia adalah bunga di taman hatiku." Jelas banget dia bukan bunga beneran, tapi dia dibandingin sama bunga karena melambangkan keindahan, kesegaran, atau sesuatu yang disayang. Atau, "Buku adalah jendela dunia." Buku nggak beneran jendela, tapi isinya membuka wawasan kita seluas jendela. Metafora ini bikin kalimat jadi lebih puitis dan penuh makna.
  3. Personifikasi: Majas ini unik banget, guys. Dia ngasih sifat-sifat manusia ke benda mati, hewan, atau tumbuhan. Jadi, seolah-olah mereka bisa berpikir, merasa, atau bertindak kayak kita. Contoh: "Angin berbisik di telingaku." Angin kan nggak punya telinga buat berbisik, tapi kata 'berbisik' ini bikin suasana jadi lebih syahdu atau misterius. Atau, "Matahari tersenyum menyambut pagi." Matahari nggak punya mulut buat senyum, tapi ini menggambarkan pagi yang cerah dan menyenangkan. Personifikasi bikin alam jadi lebih hidup dan terasa dekat sama kita.
  4. Alegori: Ini agak lebih kompleks, guys. Alegori itu kayak cerita pendek yang punya makna tersembunyi di baliknya. Setiap elemen dalam cerita itu punya simbol. Contoh klasiknya cerita "Kancil dan Buaya". Kancil di sini bisa jadi simbol kecerdikan, sementara buaya simbol kekuatan yang kadang disalahgunakan. Cerita ini bukan cuma soal hewan, tapi punya pesan moral tentang gimana ngadepin orang yang lebih kuat atau gimana pake akal buat menang. Alegori sering dipakai buat nyampein pesan moral atau kritik sosial secara halus.
  5. Metonimia: Majas metonimia ini kayak tukar guling gitu, guys. Kita nyebut sesuatu tapi yang dimaksud itu hal lain yang punya hubungan erat. Hubungannya bisa macem-macem, misalnya pake merek buat barangnya, pake tempat buat negaranya, atau pake penulis buat karyanya. Contoh: "Dia minum Aqua." Padahal Aqua itu merek, tapi yang dimaksud air minum mineral. Atau, "Saya membaca Chairil Anwar." Chairil Anwar itu penulisnya, tapi yang dimaksud itu karya-karyanya. Atau, "Semalam saya ke Bandung." Padahal yang dimaksud bukan kotanya, tapi mungkin acara atau tempat di Bandung. Intinya, ada hubungan sebab-akibat atau bagian-penting.
  6. Sinekdoke: Ini mirip sama metonimia, tapi lebih spesifik. Sinekdoke itu ada dua jenis: pars pro toto (sebagian mewakili keseluruhan) dan totum pro parte (keseluruhan mewakili sebagian). Contoh pars pro toto: "Setiap kepala dikenakan pajak." Yang dimaksud bukan cuma kepalanya aja, tapi orangnya. Atau, "Dia punya perahu." Padahal maksudnya dia punya beberapa perahu atau armada perahu. Contoh totum pro parte: "Indonesia memenangkan medali emas." Padahal yang menang itu atlet Indonesia, bukan seluruh negara. Atau, "Rumah itu sedang berduka." Padahal maksudnya keluarga yang tinggal di rumah itu. Sinekdoke ini bikin ungkapan jadi lebih ringkas.
  7. Hiperbola: Nah, kalau yang ini suka bikin ngakak, guys. Hiperbola itu melebih-lebihkan sesuatu, biar dramatis atau lucu. Tujuannya bukan buat bohong, tapi buat penekanan. Contoh: "Tangisnya membanjiri bumi." Ya kali nangis sampe banjir beneran, tapi ini buat nunjukin kalau dia nangis banget. Atau, "Dia punya kekayaan melimpah ruah." Nggak maksudnya beneran numpuk sampe nggak bisa dihitung, tapi hartanya banyak banget. Hiperbola ini sering banget dipakai di percakapan sehari-hari biar ceritanya makin seru.
  8. Litotes: Kalau hiperbola melebih-lebihkan, litotes itu kebalikannya, guys. Dia merendah atau mengecilkan sesuatu, biasanya buat sopan santun atau merendah. Contoh: "Silakan mampir ke gubuk kami yang sederhana." Padahal rumahnya mungkin bagus, tapi dia bilang 'gubuk' biar nggak terkesan sombong. Atau, "Terima kasih atas sedikit bantuan Anda." Padahal bantuannya besar, tapi dibilang 'sedikit' sebagai bentuk apresiasi. Litotes ini penting biar kita kelihatan rendah hati.
  9. Antonomasia: Majas ini pake julukan atau sebutan tertentu buat nggantiin nama asli seseorang atau sesuatu. Biasanya julukannya itu udah terkenal banget. Contoh: "Sang Rakutenya Indonesia" buat menyebut klub Persib Bandung. Atau "Si Jangkung" buat menyebut mantan presiden kita yang tinggi. Tujuannya biar lebih identik atau dikenal. Kadang, julukan ini udah lebih populer daripada nama aslinya.
  10. Asosiasi: Ini agak unik lagi, guys. Majas asosiasi itu nyambungin sesuatu sama ide atau citra tertentu. Kayak, kalau denger kata 'merah', kita langsung inget sama 'api' atau 'darah'. Kalau denger 'biru', kita inget 'langit' atau 'laut'. Ini bukan perbandingan langsung, tapi lebih ke ngebangkitin imajinasi lewat kesamaan warna, bentuk, atau kesan. Misalnya, "Bunga mawar itu identik dengan cinta." Bunga mawar nggak beneran cinta, tapi karena warnanya yang merah dan bentuknya yang indah, dia diasosiasikan dengan perasaan cinta.

Majas Pertentangan (Paradoks, Oksimoron, Antitesis, Klimaks, Antiklimaks, Ironi, Sarkasme)

Selanjutnya, kita bakal nyelam ke majas pertentangan. Sesuai namanya, majas ini justru mainin dua hal yang berlawanan atau bertentangan. Aneh kedengarannya? Justru itu yang bikin unik, guys!

  1. Paradoks: Majas ini bikin pernyataan yang kelihatannya bertentangan, tapi sebenernya ada kebenaran di baliknya. Kayak teka-teki, bikin kita mikir. Contoh: "Dia merasa kesepian di tengah keramaian." Kan aneh, kok bisa kesepian kalau rame? Tapi ini maksudnya dia merasa nggak ada yang ngerti dia meskipun dikelilingi banyak orang. Atau, "Kecantikannya menyakitkan." Cantik kok nyakitin? Maksudnya, kecantikannya bikin orang lain iri atau justru bikin dia punya banyak masalah. Paradoks ini sering bikin kita merenung.
  2. Oksimoron: Ini lebih simpel dari paradoks, guys. Oksimoron itu kayak gabungin dua kata yang berlawanan jadi satu frasa. Jadi, kelihatan aneh tapi sering kita pake. Contoh: "Keheningan yang riuh." Gimana sih hening tapi riuh? Maksudnya, suasana yang sunyi tapi banyak pikiran atau perasaan yang berkecamuk. Atau, "Perjuangan yang sia-sia." Perjuangan kok sia-sia? Ini nunjukin usaha yang udah keras tapi nggak membuahkan hasil. Oksimoron ini bikin ungkapan jadi lebih kuat dan menarik.
  3. Antitesis: Majas ini nyandingin dua hal yang berlawanan dalam satu kalimat, biar kontrasnya makin kelihatan. Jadi, kayak ada perbandingan tapi lebih ke arah benturan. Contoh: "Di sana ramai, di sini sepi." Jelas banget dua tempat yang berlawanan digabungin. Atau, "Ada siang, ada malam. Ada baik, ada jahat." Antitesis ini bikin kalimat jadi lebih dinamis dan tegas.
  4. Klimaks: Kalau yang ini, guys, urutannya makin lama makin naik atau makin penting. Ibarat tangga, kita naik dari bawah ke atas. Tujuannya biar penekanannya makin kuat di akhir. Contoh: "Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua semua hadir." Urutannya makin ke yang lebih tua. Atau, "Dia berlari, melompat, lalu terbang (dalam arti kiasan meraih impian)." Urutan tindakannya makin hebat. Klimaks ini bikin cerita jadi lebih dramatis.
  5. Antiklimaks: Kebalikan dari klimaks, guys. Urutannya makin lama makin turun atau makin nggak penting. Tujuannya bisa buat ngasih efek kejutan atau malah jadi lucu. Contoh: "Dia adalah presiden, menteri, direktur, dan akhirnya tukang parkir." Urutannya makin turun jabatannya. Atau, "Dia datang membawa harta karun, emas permata, lalu sebatang kara." Dari yang berharga banget jadi nggak punya apa-apa. Antiklimaks ini sering bikin pembaca kaget.
  6. Ironi: Majas ironi ini kayak ngomong A tapi maksudnya -A. Biasanya buat sindiran halus atau lelucon. Contoh: "Wah, pintar sekali kamu sampai lupa segalanya." Sebenarnya dia nggak pintar, malah justru bego karena lupa segalanya. Atau, "Tempat ini indah sekali," padahal tempatnya kumuh dan kotor. Ironi ini sering bikin kita senyum kecut.
  7. Sarkasme: Nah, kalau ironi itu halus, sarkasme itu lebih kasar, guys. Dia ngomong kebalikannya dari yang dimaksud, tapi nadanya sinis atau mengejek. Tujuannya buat nyakitin atau ngasih komentar pedas. Contoh: "Bagus! Kamu memang pahlawan," kata temannya sinis saat dia bikin masalah besar. Atau, "Terima kasih banyak atas bantuanmu yang tak ternilai harganya," padahal bantuannya malah bikin repot. Sarkasme itu lebih tajam dari ironi.

Majas Sindiran (Sinisme, Eufemisme, Retorik, Pleonasme, Repetisi, Aliterasi, Asonansi, Anastrof, Inversi, Elipsis, Paralipsis, Koreksio, Asindeton, Polisindeton, Enumerasi, Histeron Proteron, Kiasan

Sekarang kita masuk ke majas sindiran dan gaya penekanan yang bikin tulisan kita makin berbobot dan punya 'rasa'. Yuk, kita bongkar satu-satu!

  1. Sinisme: Majas sinisme ini mirip sarkasme, guys, tapi lebih fokus ke memandang sesuatu dengan pandangan yang meremehkan atau sinis. Dia nggak peduli sama perasaan orang lain dan pengen nunjukkin kalau pendapatnya itu yang paling benar atau paling realistis, meskipun nyakitin. Contoh: "Ah, surga buat orang malas." Dia nggak percaya sama konsep surga yang katanya imbalan buat kerja keras, tapi malah bilang itu buat orang yang nggak mau usaha. Atau, "Semua orang sama aja, cuma pura-pura baik." Ini nunjukkin pandangan pesimisnya terhadap sifat manusia. Sinisme itu ungkapan yang pahit dan cenderung merusak.
  2. Eufemisme: Kebalikan dari sinisme, guys. Eufemisme itu cara ngomong yang lebih halus buat nyampein sesuatu yang dianggap nggak enak, kasar, atau tabu. Tujuannya biar nggak menyinggung perasaan. Contoh: Kata "meninggal dunia" lebih halus daripada "mati". Atau, "Tuna wisma" lebih sopan daripada "gelandangan". Terus, kalau ada orang yang dipecat, kita bisa bilang dia "dirumahkan" atau "mengalami restrukturisasi". Eufemisme ini bikin komunikasi jadi lebih nyaman dan santun.
  3. Retorik: Nah, kalau yang ini, guys, pertanyaan retorik itu pertanyaan yang nggak butuh jawaban. Jawabannya udah jelas ada di dalam pertanyaan itu sendiri, atau malah nggak ada jawaban sama sekali. Tujuannya buat menekankan sesuatu, bikin pembaca mikir, atau sekadar bikin kalimat jadi lebih dramatis. Contoh: "Siapa yang nggak mau kaya?" Jelas jawabannya semua orang mau. Atau, "Kapan semua ini akan berakhir?" Ini pertanyaan yang nunjukkin rasa putus asa atau nggak sabar. Pertanyaan retorik bikin kita berhenti sejenak dan merenung.
  4. Pleonasme: Majas pleonasme itu kayak ngulang kata yang artinya udah sama. Jadi, terkesan boros kata, tapi kadang sengaja dipakai buat penekanan. Contoh: "Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri." Kan udah jelas kalau lihat pake mata. Atau, "Naik ke atas." Naik itu udah ke atas, ngapain pake 'ke atas' lagi? Contoh lain yang sering salah kaprah: "Saya pribadi rasa..." Padahal 'saya' udah menunjukkan orangnya. Pleonasme ini sering jadi bahan kritik, tapi kadang bisa juga buat ngasih penekanan yang kuat.
  5. Repetisi: Ini majas yang mengulang kata, frasa, atau klausa yang sama beberapa kali dalam satu kalimat atau paragraf. Tujuannya biar penekanan makin kuat, biar iramanya bagus, atau biar pesannya lebih meresap. Contoh: "Sungguh, sungguh aku mencintaimu." Pengulangan kata 'sungguh' bikin penekanan cintanya makin kuat. Atau, "Dia datang, dia pergi, dia menghilang." Pengulangan 'dia' bikin fokus ke subjeknya.
  6. Aliterasi: Kalau yang ini, guys, fokusnya di pengulangan bunyi konsonan di awal kata-kata yang berdekatan. Tujuannya biar lebih enak didengar, kayak main musik di telinga. Contoh: "Kucing kecil kurap ke kebun kopi." Bunyi 'k' diulang-ulang. Atau, "Malam makin menjelang melankolis." Bunyi 'm' yang dominan. Aliterasi ini sering dipakai di puisi atau slogan biar gampang diingat.
  7. Asonansi: Mirip aliterasi, tapi fokusnya di pengulangan bunyi vokal di awal kata-kata yang berdekatan. Contoh: "Bunga-bunga untuk unda undanya." Bunyi 'u' yang berulang. Atau, "Dan kasih itu tak ada akhirnya." Bunyi 'a' dan 'i' yang dominan. Asonansi ini bikin irama kalimat jadi lebih merdu.
  8. Anastrof: Majas ini membalik urutan kata yang biasanya. Jadi, kata yang seharusnya di depan ditaruh di belakang, atau sebaliknya. Tujuannya biar penekanan pada kata yang dipindah atau biar lebih dramatis. Contoh: "Sangat indah pemandangan ini." Seharusnya "Pemandangan ini sangat indah." Atau, "Aku datang ke sana." Seharusnya "Ke sana aku datang." Anastrof ini bikin kalimat jadi sedikit nggak biasa dan menarik perhatian.
  9. Inversi: Ini mirip anastrof, guys, tapi lebih luas. Inversi itu membalik urutan subjek, predikat, atau objek dalam kalimat. Tujuannya sama, biar penekanan atau biar gaya. Contoh: "Dia pergi ke pasar." menjadi "Ke pasar dia pergi." Atau, "Saya memakan nasi goreng." menjadi "Nasi goreng kumakan." Inversi bikin kalimat jadi lebih fleksibel dan bisa ditekankan di bagian yang berbeda.
  10. Elipsis: Majas elipsis ini kayak menghilangkan bagian kalimat yang udah jelas atau bisa ditebak. Tujuannya biar kalimat jadi lebih ringkas dan nggak bertele-tele. Contoh: "Saya mau pergi, dia (mau pergi) juga." Kata 'mau pergi' dihilangkan karena udah disebutin sebelumnya. Atau, "Kamu suka teh? Saya (suka) kopi." Kata 'suka' dihilangkan. Elipsis ini bikin komunikasi jadi lebih efisien.
  11. Paralipsis: Majas ini agak unik, guys. Dia pura-pura nggak mau ngomong sesuatu, padahal malah justru ngomongin itu. Tujuannya biar pendengar/pembaca jadi penasaran atau biar omongannya jadi lebih ngena. Contoh: "Saya tidak akan menyebutkan namanya, tapi kita semua tahu siapa dia." Padahal dia pengen banget orang tau siapa yang dimaksud. Atau, "Saya tidak akan mengungkit kesalahanmu, tapi kamu tahu sendiri kan?" Ini bikin orang jadi nggak nyaman karena merasa 'terbongkar'.
  12. Koreksio: Majas koreksio ini kayak ngoreksi diri sendiri di tengah omongan. Jadi, dia udah ngomong sesuatu, terus tiba-tiba ngomong lagi buat ngoreksi atau memperbaiki. Tujuannya biar lebih tepat atau biar pembaca jadi lebih sadar. Contoh: "Dia adalah orang yang... ah, bukan, dia adalah orang yang paling bertanggung jawab." Tadi mau bilang apa, tapi terus dikoreksi jadi lebih baik. Atau, "Ini adalah kesempatan yang... luar biasa." Koreksio ini bikin ungkapan jadi lebih akurat.
  13. Asindeton: Majas ini nggak pake kata penghubung kayak 'dan', 'atau', 'tapi', dll. dalam rangkaian beberapa kata atau kalimat. Tujuannya biar kalimat jadi lebih cepat, lebih ringkas, dan lebih berkesan. Contoh: "Dia datang, lihat, taklukkan." Harusnya "Dia datang, lalu dia lihat, lalu dia taklukkan." Tapi pake asindeton jadi lebih cepat. Atau, "Beli beras, gula, telur, minyak." Daripada "Beli beras, gula, telur, dan minyak." Asindeton bikin gaya penulisan jadi lebih dinamis.
  14. Polisindeton: Kebalikan asindeton, guys. Majas ini justru banyak pake kata penghubung kayak 'dan', 'atau', 'lagi', 'serta'. Tujuannya biar penekanan makin kuat, biar iramanya lambat, atau biar terkesan merinci banget. Contoh: "Dia punya banyak barang dan banyak uang dan banyak teman dan banyak musuh." Pengulangan 'dan' bikin penekanan ke banyaknya barang yang dia punya. Atau, "Dan dia pergi, dan dia menangis, dan dia tak pernah kembali." Polisindeton ini bikin suasana jadi lebih emosional.
  15. Enumerasi: Majas enumerasi itu kayak menyebutkan banyak hal sekaligus secara berurutan. Tujuannya buat ngasih gambaran yang lengkap atau biar efeknya makin kuat. Contoh: "Di pasar itu ada apel, jeruk, pisang, mangga, durian, rambutan..." Menyebutkan banyak buah. Atau, "Dia membawa tas, buku, pena, penggaris, pensil, penghapus..." Menyebutkan alat tulis. Enumerasi bikin daftar jadi lebih panjang dan detail.
  16. Histeron Proteron: Nah, kalau ini agak unik, guys. Majas histeron proteron itu menyebutkan sesuatu yang seharusnya di akhir di awal, terus yang seharusnya di awal disebut di akhir. Jadi, urutan logisnya dibalik. Tujuannya biar penekanan atau biar efek dramatis. Contoh: "Saya mati lalu lahir kembali." Seharusnya kan lahir dulu baru mati. Atau, "Terima kasih atas hadiahnya." Seharusnya "Hadiahnya ini, terima kasih." Histeron proteron ini sering muncul di ungkapan yang udah jadi kayak "Sakitnya tuh di sini." (padahal rasa sakitnya di hati).
  17. Kiasan: Ini istilah umum banget, guys. Kiasan itu adalah penggunaan kata atau ungkapan secara tidak langsung, dengan makna yang berbeda dari makna aslinya. Semua majas yang udah kita bahas tadi itu termasuk dalam kategori kiasan. Tujuannya biar lebih indah, lebih menarik, atau punya makna tersembunyi. Contohnya, "Bintang lapangan" bukan berarti bintang yang ada di langit, tapi pemain sepak bola yang hebat. Atau, "Kambing hitam" bukan hewan, tapi orang yang disalahkan. Kiasan ini bikin bahasa jadi lebih kaya dan ekspresif.

Majas Penegasan (Affirmative, Exclamatio, Interogatio, Radiks, Apologi, Apostrof, Epanalepsis, Anadiplosis, Epifora, Simplohe, Kiasan)

Terakhir, kita bakal fokus ke majas penegasan yang bikin setiap ucapan atau tulisan jadi lebih mantap dan berkesan. Yuk, kita lihat detailnya!

  1. Affirmative: Majas affirmative itu intinya adalah pernyataan yang tegas. Nggak ada keraguan, langsung to the point. Contoh: "Saya akan melakukannya." Nggak pake "mungkin" atau "kalau bisa". Atau, "Ini benar." Jelas, nggak ada bantahan. Majas affirmative ini bikin pembicara atau penulis kelihatan yakin dan punya pendirian.
  2. Exclamatio: Kalau yang ini, guys, seruan yang kuat. Biasanya pake tanda seru (!). Tujuannya buat nunjukkin rasa kaget, marah, senang, sedih, atau emosi yang kuat lainnya. Contoh: "Oh, indahnya alam semesta!" atau "Awas, ada bahaya!" atau "Aku tidak percaya!" Exclamatio ini bikin pembaca ikut merasakan emosi yang disampaikan.
  3. Interogatio: Ini sama kayak pertanyaan retorik yang udah kita bahas sebelumnya, guys. Pertanyaan yang nggak butuh jawaban. Jawabannya udah jelas atau nggak ada. Tujuannya buat menekankan sesuatu atau bikin pembaca merenung. Contoh: "Siapa yang bisa menebak masa depan?" Jawabannya nggak ada. Atau, "Benarkah kamu sudah lupa?" Ini pertanyaan buat nyesek-nyesekin hati. Interogatio ini bikin pernyataan jadi lebih tajam.
  4. Radiks: Majas radiks ini kayak menancapkan akar pada suatu ide. Jadi, kita ngomongin satu topik, tapi di dalemnya itu kayak ada banyak sub-topik yang saling terkait dan berkembang. Tujuannya biar pembahasan jadi mendalam dan punya dasar yang kuat. Susah nyari contoh tunggalnya, karena ini lebih ke struktur argumen. Tapi bayangin aja kayak ngomongin "pendidikan", terus dikembangin jadi "pentingnya pendidikan dasar", "cara meningkatkan kualitas guru", "dampak teknologi pada belajar", dll. Semua itu ngakar dari satu ide.
  5. Apologi: Majas apologi itu kayak pembelaan diri. Seseorang atau penulis berusaha menjelaskan atau membenarkan tindakannya, pendapatnya, atau apa yang dia lakukan. Tujuannya biar orang lain ngerti atau setuju. Contoh: "Maafkan saya, saya terpaksa melakukan ini karena...